UU No. 23 Tahun 2014 Timbulkan Permasalahan

12-06-2017 / KOMISI X

Undang-undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) yang mulai berlaku tahun 2016 lalu, dinilai menimbulkan sejumlah permasalahan. Khususnya pada pengaturan terkait pengalihan kewenangan pengelolaan pendidikan menengah yaitu SMA dan SMK dari pemerintah kabupaten atau kota ke pemerintah provinsi.

 

Anggota Komisi X DPR Ledia Hanifa Amaliah mengatakan, salah satu pihak yang terkena imbas akibat diberlakukannya kebijakan ini adalah guru honorer. Dengan pengalihan kewenangan ini, berpengaruh kepada tunjangan yang diterima guru honorer. Ada yang mengalami penurunan jumlah tunjangan, walaupun ada juga yang mengalami kenaikan.

 

“Ada beberapa guru honorer yang menyampaikan bahwa kabupaten atau kota mereka memberikan tunjangan lumayan tinggi. Namun begitu kewenangan pendidikan menengah diambil provinsi, karena provinsi terpaksa memukul rata, jadi akhirnya tunjangannya turun,” kata Ledia saat kunjungan kerja spesifik Komisi X DPR ke Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, Kamis (8/6/2017). Kunspek dipimpin Wakil Ketua Komisi X DPR Sutan Adil Hendra (F-Gerindra, dapil Jambi).

 

Permasalahan berikutnya, masih kata Ledia, terkait sekolah inklusi, atau sekolah anak berkebutuhan khusus. Menurut Ledia, penanganan sekolah inklusi merupakan kewenangan pemerintah provinsi. Namun di satu sisi, untuk sekolah inklusi tingkat SD dan SMP merupakan kewenangan kabupaten atau kota.

 

Sehingga, perlu adanya koordinasi antara pemprov dan pemkab atau pemkot, terkait keberlangsungan pendidikan anak didik berkebutuhan khusus, yang melanjutkan pendidikan dasar ke pendidikan menengah. Ledia khawatir, dengan tanggung jawab besar ini, tugas utama pemerintah provinsi untuk menangani anak didik disabilitas menjadi terabaikan.

 

“UU No 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, tidak menginginkan ada anak didik putus sekolah. Karena kewajibannya mereka bersekolah 12 tahun. Ini menimbulkan persoalan berikutnya, jika koordinasinya tidak dituntaskan. Sejumlah persoalan ini yang harus kita selesaikan bersama,” imbuh Ledia.

 

Politisi F-PKS itu mengakui, secara umum kabupaten dan kota tidak terbebani dari sisi anggaran. Namun bagi kabupaten atau kota yang telah mempunyai kebijakan untuk pendidikan dasar hingga menengah, hal ini ini bisa menjadi masalah tersendiri.

 

“Karena belum tentu, kebijakan provinsi untuk pendidikan menengah, tidak inline dengan kebijakan pendidikan dasar kabupaten atau kota. Ini betul-betul harus disinergikan, dan diselesaikan,” imbuh Ledia.

 

Politisi asal dapil Jawa Barat itu menekankan, langkah yang harus segera diambil adalah koordinasi, serta perlu adanya kebijaksaan Menteri Dalam Negeri dalam konteks pembagian tugas antara kewenangan provinsi dan kewenangan kabupaten dan kota. (sf,mp) ), foto : sofyan/hr.

BERITA TERKAIT
Furtasan: Perlu Redesain Sekolah Rakyat agar Lebih Tepat Sasaran
20-08-2025 / KOMISI X
PARLEMENTARIA, Jakarta — Anggota Komisi X DPR RI menyoroti pelaksanaan program Sekolah Rakyat yang menjadi salah satu prioritas Presiden Prabowo...
Fikri Faqih Terima Aspirasi Forum Guru Honorer dan PPPK di Jateng, Berharap Solusi Atas Persoalan Kepegawaian
17-08-2025 / KOMISI X
PARLEMENTARIA, Jakarta - Keresahan tengah dirasakan ratusan guru honorer dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) di Jawa Tengah. Persoalan...
Once Mekel Apresiasi Terbitnya Permenkum Royalti, Fondasi Hukum Pertunjukan dan Musisi Nasional
17-08-2025 / KOMISI X
PARLEMENTARIA, Jakarta - Anggota Komisi X DPR RI, Elfonda Mekel, menyampaikan apresiasi atas terbitnya beleid Peraturan Menteri Hukum (Permenkum) Nomor...
Pidato Presiden Tempatkan Pendidikan, Kesehatan, dan Keadilan Sosial Fondasi Utama Indonesia Emas 2045
15-08-2025 / KOMISI X
PARLEMENTARIA, Jakarta – Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian, menyampaikan apresiasi yang tinggi atas pidato kenegaraan Presiden Republik Indonesia,...